Qur'an dan Sunnah

Agama itu Nasehat

Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam serta Historisnya

Posted by Admin pada 24/04/2009

Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.

Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.

Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.

Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.

Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah berfirman (artinya):

Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)

Historis Upacara Tahlilan

Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?

Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.

Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.

Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam

Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:

Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.

Kedua: Penyajian hidangan makanan.

Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.

Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.

1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.

Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarkan.

Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)

Juga Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)

Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam.

Suatu ketika Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)

Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):

Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)

Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam.

Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam.

Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)

Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiAllahu ‘anha, Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)

Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:

فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ

Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”

Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.

Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).

2. Penyajian hidangan makanan.

Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiAllahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiAllahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)

Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)

Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).

Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?

Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:

اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ

Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)

Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.

Dikutip dari: http://assalafy.org, Judul asli : Tahlilan Dalam Timbangan Islam.

Diarsipkan pada: https://qurandansunnah.wordpress.com/

22 Tanggapan to “Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam serta Historisnya”

  1. arprim said

    bagaimana jika ada surat yang mengatakan bahwa “Allah telah menciptakan laki2 dan perempuan kemudian dibuatNya keturunannya berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal”….

    kita kan cuma disuruh saling mengenal doank… oh..ini budayanya si ini.. itu budaya si itu… gt kan??
    nah, ngumpul2 keluarga itu kan budaya Indonesia.. sampai ada lagu slank makan gak makan tetap kumpul..

    mungkin daripada sekedar kumpul2 pas hari kematian orang lain/keluarga.. kenapa tidak melakukan hal positif.. seperti misal membaca quran atau yasin atau shalawat dsb…
    bukankah Allazina yuk minuuna bilgahibi wayuqiimunasshalata…?? alias beriman kepada yang ghaib..

  2. terima kasih ya telah meluangkan waktu untuk berbagi. Artikel di atas sangat menarik karena memberikan sudut pandang yg mungkin berbeda bagi sebagian orang.

    Saya pribadi hidup di lingkungan yg menerapkan “budaya” Tahlilan. Namun demikian tidak menutup mata dan mencoba tetap terbuka utk menerima informasi lainnya.

    Sesungguhnya ilmu yg kita miliki hanya sedikit dan wajib terus ditambah. Dan kebenaran hanya milik Allah SWT.

    Sekali lagi terima kasih dan ditunggu posting selanjutnya ya sahabat

  3. acenk said

    terimakasih anda telah menambah wawasan saya lewat artikel ini….
    memang saya berda dalam lingkungan yang suka berlatahlilan….
    tapi bukankah bertahlilan itu mendo`akan orang yang sudah meninggal dunia…. dan dalam islam diperbolehkan mendoakan oranga yang sudah meninggal dunia… seperti berdasarkan dalil-dalil berikut :
    ”Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor),
    mereka berdo’a :” Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami” (QS Al Hasyr: 10)
    Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena
    mereka memohonkan ampun (istighfar) untuk orang-o rang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.
    Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW –
    setelah selesai shalat jenazah-bersabda:” Ya Allah ampunilah dosanya,
    sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan
    air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih
    bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih
    baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka” (HR Muslim).
    Begitu juga tentang do’a setelah mayyit dikuburkan, Rasulullah SAW
    bersabda: Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata:” Adalah Nabi SAW apabila
    selesai menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda:” mohonkan
    ampu n untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena
    sekarang dia sedang ditanya” (HR Abu Dawud)
    Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW:
    ”Bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ?
    Rasul SAW menjawab, “Ucapkan (salam sejahtera semoga dilimpahkan
    kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan semoga Allah
    memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang
    dan sesungguhnya –insya Allah- kami pasti menyusul) (HR Muslim).
    Sedangkan untuk menyajikan makanan di rumah duka….
    bukan maksud untuk meratapi mayit….tapi disini keluarga duka memberikan hidangan tersebut hanya untuk bersedekah kapada orang yang telah mendoakan si`mayit….
    Hal yang mirip adalah bila kita kaitkan dengan hadits-hadits tentang
    sampainya pahala shadaqah kepada mayyit. Misalnya :
    Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal
    dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW
    unntuk bertanya:” Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah
    meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya
    bersedekah u ntuknya bermanfaat baginya ? Rasul SAW menjawab: Ya, Saad berkata:” saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya” (HR Bukhari).
    sekali lagi terimakasih atas artikelnya….

    ——– Jawaban selengkapnya——–

    Kita hanya cukup mendo’akan saja kepada yang meninggal bukan berarti membuat buat syari’at baru dengan mengelar acara Tahlilan yang didalamnya membaca fatihah, al-ikhlas .., disambung yasinan, tahlil .. dst
    Entah siapa yang membuat urut-urutan seperti itu.. ???

    Yang lebih mungkar lagi sebelumnya acara tahlil tersebut dibacakan tawasulan dulu untuk syaikh qodir jailani.. dll, dan juga jamuan makanan dan minuman.., plus diberi uang berkah bagi jamaah biasa terjadi dikampung kampung. semuanya tidak ada dicontohkan oleh Rasulullah dan para salafus shalih. jadi jelaslah :

    Acara Tahlilan setelah kematian tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam begitu juga para tabi’in dan setelahnya tabi’ut tabi’in.
    Sebagaimana dalam hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim :
    مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ : ((مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ
    Siapa yang yang mengadakan hal baru dalam urusan Agama ini yang bukan dari kami maka hal (amalan) itu adalah tertolak”.

    Mari kita mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yang didalam dirinya telah ada teladan yang baik.. Barakallahufiikum.

  4. itdot said

    bagus tu sobat posting truss artikel islam biar islam itu tidak akan hilang di hati kita

  5. fandy said

    semua akmalu bi niat, tergantung niatnya. membaca doa (tahlilan) untuk dihadiahkan kepada mayit sama halnya berdoa dalam mensolatkan mayit, jika menganggap perkara ini sia-sia maka sama saja menganggap mendoakan mayit dalan sholat mayit juga perbuatan sia-sia. menurut saya, hal seperti ini mubah namun tidak boleh berlebih-lebihan dalam menghidangkan makanan, ibu-ibu jamaah ditempat saya, saya anjurkan untuk boleh bertahlilan tanpa ada jamuan makanan, ini untuk penghiburan sohibul musibah, selanjutnya pasrahkan kepada Alloh, toh berdzikir juga tuntunan Nabi sekaligus perintah Alloh, dimana saja kamu berada dan kapan saja mengingatlah akan Alloh, Demi Dzat Alloh yang Dia sendirilah yang Maha Tahu dan aku sendiri hanya digenggam Nya

  6. Herdii said

    hmm.. temen saya pernah bilang sih bahwa tahlilan dulu terjadi karena ini sebenarnya budaya “agama lain” yang mereka akhirnya beramai-ramai masuk islam. Hal ini telah disetujui agar masyarakat mualaf itu semakin tertarik dengan islam.
    Bagaimana tanggapan anda bung ?

    • kokomaup said

      seperti nya benar karena memang dulu para wali sanga menyebarkan ajaran Islam dengan hati-hati dan bertahap tapi keadaan belum 100% terkoreksi mereka sudah harus berpulang.

      Alhamdulillah, dan selanjutnya kita menggali ilmu agama sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya berdasarkan Alquran dan Hadits hadits shohih, bukan berdasarkan taqlid yang mengikuti tanpa dalil. Dalam beribadah haruslah ada contohnya dari Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wassalam. agar amal kita diterima. sedangkan beribadah tanpa contoh amalan itu tidak akan di terima.
      Sesuai sabda rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam:
      ” من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد “.
      “Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang belum pernah kami perintahkan, maka ia (amalan) tertolak”.

  7. sandhi said

    Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa selamatan kematian setelah hari wafat, hari ketiga, ketujuh dll adalah : MAKRUH, RATAPAN BID’AH TERCELA (BID’AH MADZMUMAH), OCEHAN ORANG-ORANG BODOH.
    Berikut apa yang tertulis pada keputusan itu :

    MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
    KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
    TENTANG
    KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH

    TANYA :
    Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?

    JAWAB :
    Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.

    KETERANGAN :
    Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
    “MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG DILARANG).”

    Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
    “Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.

    Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?

    Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”

    Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).

    Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi  terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.

    Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).

    SELESAI , KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926

    REFERENSI :

     Lihat : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17), Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
     Masalah Keagamaan Jilid 1 – Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu/1926 s/d/ Ketigapuluh/2000, KH. A.Aziz Masyhuri, Penerbit PPRMI dan Qultum Media.

  8. Bambang said

    Ternyata, tidak semua orang terkecoh oleh pembenaran yang dilakukan pada tulisan ini… semoga semangat belajar penulis atau pemilik blog atau siapapun bisa mengantarkan pada khusnul khotimah… Semangat terus belajar, hindari kata TIDAK ADA DALILNYA jika kita memang belum nyampe ilmunya… hehehe… sukses dan tetap semangat!!

  9. dennys said

    wahh…nahh..gini nih yang bikin orang islam gak maju-maju..hal-hal yang sebenarnya gak usah di masalahkan di besar2kan…dan ini akan menjadi perpecahan di dalam masalah internal islam sendiri… 😀 kita juga harus inget dunks..dulu sebelum islam terbentuk bagaimana para wali mengupayakan berbagai cara agar islam bisa masuk dalam hati masyarakat dan bisa berkembang..dan tahlilan adalah termasuk salah satunya ajaran sunan kalijaga atau sunan bonang..nahh..mereka para wali juga memakai rasio atau pikiran mereka juga dunks untuk memasukkan adat tahlilan di masyarakat…saya contohkan

    1 Tahlilan merupakan pembeda antara kematian hewan dengan manusia.
    kita tau kan hewan kalau mati ya dikubur dan selesai sudah..tapi kalau para wali membedakan dengan ada acaranya 7 hari nan 100 dan sebagainya..
    2 Di dalam acara tersebut kan juga terdapat tahlil yang di dalamnya ada dzikir dan doa…sekarang aku tanya…apakah setiap orang bisa bisa dzikir dalam jumlah ribuan dalam waktu sehari semalam..??pasti males2an.. iya ato iya..??padahal di dalam faedah dzikir kan beda2..semakin banyak semakin banyak pula faedahnya..iya gak..?kalau di tahlilan gak sampe 1 jam ajah dah ribuan yang kita baca..
    3 Menambah silaturahmi antar warga dan sodaqoh…saya pernah tinggal di kompleks yang dilarangnya tahlilan..dan kebanyakan kompleks tersebut sepi dan gak ada silaturahmi yang di adakan kecuali rapat..dan aku merasa harmonisasi masyarakat tuh kurang..yakin deh..
    4 Maih banyak lagi sih yang mau aku omongin..tapi karena dah ngantuk…ya besok lagi..lok masih ada yang nyangkal..hehehhe

    • sandhi said

      To : Dennys

      ….
      kita tau kan hewan kalau mati ya dikubur dan selesai sudah..tapi kalau para wali membedakan dengan ada acaranya 7 hari nan 100 dan sebagainya.”>….

      ———-
      Jawaban sudah dijelaskan pada postingan sebelumnya.
      Acara Tahlilan setelah kematian tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam begitu juga para tabi’in dan setelahnya tabi’ut tabi’in.
      Sebagaimana dalam hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim :
      مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ : ((مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ
      “Siapa yang yang mengadakan hal baru dalam urusan Agama ini yang bukan dari kami maka hal (amalan) itu adalah tertolak”.

      Mari kita mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yang didalam dirinya telah ada teladan yang baik.. Barakallahufiikum.

  10. wee said

    tahlilan kalau memang niatnya untuk ibadah dan tidak menganggap itu suatu hal yang “wajib”, bukannya gak masalah toh… kan untuk kebaikan… (menurutku yang masih miskin ilmu ini, hehe)

  11. Abu Hammad said

    tahlilan memang gak ada riwayatnya dari nabi shollallahu ‘alayhi wa sallam. untuk masalah agama, kalau di jaman nabi suatu amalan dikatakan sunnah maka sekarang pun tetep sunnah. kalau di jaman nabi suatu amalan dikatakan bid’ah maka sekarang pun tetep bid’ah. –thalab

  12. arif said

    kenapa sih setiap orang ingin melakukan niat baik mesti ada godaannya.tahlilan adalah kumpulan2 dzikir,dimana kita sebagai manusia ingin sekali memiliki ibadah yang lebih.dzikir adalah bisa dikatakan sebagai penerapi hati manusai yang tergodakan masalah duniawi.jangan selalu katakan bid’ah,kadang orang yang bilang sesuatu dengan bid’ah dia tidak tau arti bid’ah sebenarnya.misalnya kalo kita sebagai manusia sering mengatakan bid’ah padahal orang orang itu naik pesawat untuk melaksanakan ibadah haji,pesawat adalah sesuatu yang baru. berarti kalau orang anti bid’ah naik aja onta trus renangi tu lautan+samudra….
    ———————
    Semua Amalan haruslah ada contoh dari Rasulullah, Agama Islam ini telah sempurna. tidak selalu yang baik itu berarti benar.
    mari kita mencontoh amalan dan perbuatan Rasulullah, karena ia manusia yang sempurna. Adapun mobil atau pesawat merupakan perkara baru dalam dunia (bid’ah dlm bahasa saja), bukanlah dalam amalan ibadah ataupun itiqod.
    Ketahuilah bahwa syarat diterima amal ibadah itu, Pertama ia muslim, kedua adalah Ikhlas karena Allah dan ketiganya Ada contohnya dari Rasulullah.
    – Rasulullah shallalahu ‘alaihi wassalam bersabda:“Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak“.
    – Rasulullah shallalahu ‘alaihi wassalam bersabda: “dan berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam agama ini (bid’ah), karena setiap bid’ah adalah kesesatan.” (Hadits Riwayat Tirmidzi no.2816)

    Dzikir2 sehari2pun telah dicontohkan oleh Rasulullah,: dzikir ketika selesai sholat, masuk-keluar rumah, wc, ketika bersin, jima’, dzikir ketika naik kendaraan, dan banyak sekali… apakah kita sudah mengamalkannya..? semua telah telah dicontohkan.
    Insyaallah ana akan postingkan dzikir dzikir lengkap tulisan Syaikh Said bin Ali Al Qathani. Barakallahufiikum

    baca juga risalah ini:
    1.Mengenal Arti Bid’ah dan Bahaya Bid’ah
    2.Bid’ah, Suatu Perkara Baru Yang Diada-adakan Dalam Agama
    3.Agama Islam Telah Sempurna
    4.Adakah Bid’ah Hasanah ?

  13. ….
    Jadi,mari kita pererat ukhwah Islamiyah, guna Persatuan Ummat Islam dan tidak menjadi berkelompok sehingga gampang untuk dipecah.

    ———-
    Mari..kita bersatu diatas Sunnah..
    Persatuan Islam adalah Persatuan Diatas Sunnah bukan diatas Kelompok, Partai ataupun organisasi

  14. hafidz said

    Untuk pemilik blog ini, berhubung anda lebih menguasai ilmu-2 Bid’ah ini, ada baiknya anda mencoba untuk memberikan pencerahan langsung kepada para pelaku-2 bid’ah ( bukan perorangan ). jadi kalau ditanya dalil-2nya, anda pasti bisa menjawab….

    anda bisa baca2 disini atau disini
    saya seorang thulab ‘ilmi, Agama kita Islam telah lengkap dan sempurna berdasarkan Alquran dan hadits-hadits, InsyaAllah dengan mengenal hadits2 kita akan mengetahui mana yang diajarkan oleh Rasulullah mana yang bukan. dan cara pemahamannya berdasarkan pemahaman para sahabat (Salafus shalih).

  15. […] Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam serta Historisnya […]

  16. ade muslimin said

    samoga Allah SWT melimpahkan keberkahan kepada antum smua, yang menjabarkan perihal Tahlilan dangan tanya jawab….Allah Maha Tahu sgala sesuatunya…islam itu cuma 1,rahmatan lil alamin….;-),itu saja

  17. Alwi Ba-alawy said

    Sebetulnya ada beberapa bagian yg harus dita’wili dlm acara tahlilan.& jangan memukul rata setiap Tahlilan yg ada diberbagai daerah tu sama tatacaranya. insya Alloh akan sya kemukakan bbrapa keterangan yg dikutip dr bbrapa Ulama dr berbagai kalangan disertai Quran hadits.namun maaf bila tidak sya tuliskan semua textnya karna keterbatasan fasilitas:

    ————
    Walaupun ada yang berpendapat lain.. akan tetapi kalau pendapat itu menyelisih hadits shohih maka pendapat tersebut tidak bisa dipakai. Acara tahlilan tidak ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam maupun dikerjakan oleh generasi setelahnya yaitu para tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
    3 (tiga) generasi yang dinilai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sebagai generasi terbaik ummat Islam.
    Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم Bersabda:
    خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
    “Sebaik-baik manusia adalah generasiku ( para sahabat ) kemudian generasi berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya ( tabiu’t tabi’in )” (Hadits Bukhari & Muslim)
    Sedangkan generasi kita yang jauh dari Rasulullah yang jelas jauh dari pemahaman para sahabat (Salafus shalih) KECUALI kita kembali kepada pemahaman para sahabat (salaf) tersebut.
    Imam Malik رحمه الله telah berkata : كُلُّ خَيْرٍ فِي إتِباَعِ مَنْ سَلَف وَ كُلُّ شَرٍّ فِي إبْتِداَعِ مَنْ خَلَفِ
    “Setiap kebaikan adalah apa-apa yang mengikuti para pendahulu (salaf), dan setiap kejelekan adalah apa-apa yang diada-adakan orang kemudian (kholaf)” dan “Tidak akan baik akhir dari umat ini kecuali kembali berdasarkan perbaikan yang dilakukan oleh generasi pertama”.
    Untuk lebih jelasnya lagi dapat baca artikel dibawahini:
    1.Yasinan Serta Keutamaannya Satupun Haditsnya Tidak Ada yang Shohih
    2.Mengirim Pahala Bacaan Al Qur’an Untuk Orang yang telah Meninggal (Mayat)
    3.Pentingnya Banyak Mengingat KEMATIAN
    4.Perkara yang Bermanfaat Setelah Kematian Manusia
    Demikian Baakallahufiik.

  18. […] Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam serta Historisnya […]

  19. Fajar said

    Aneh sekali!!! kenapa masih ada beberapa org yg brkomentar dgn tetap brsikeras dan mempertahankan pendapat nya kalau tahlilan setelah kematian itu tidak masalah & baik utk dilakukan??? padahal telah ada dalil-dalil yg sudah sgt jelas dan tak diragukan lagi kebenarannya bahwa tahlilan stelah kematian itu tdk ada.
    Saya pernah baca buku yg menyatakan kalau ahli bid’ah itu menanggung dosa nya & dosa org yg mengikuti nya, akhir hidup ahli bid’ah itu buruk, bid’ah itu memasukkan pelakunya k dlm laknat, dll.

Tinggalkan komentar